Beberapa hari lalu, kita dikejutkan dengan penembakan peawat mata - mata Amerika oleh militer Iran. Peristiwa itu menambah daftar panjang permusuhan kedua negara. Jauh sebelumnya, Presiden Ahmadinejad sering mengeluarkan pernyataan kontroversi yang memerahkan telinga para pemimpin barat. Masih lekat ingatan dalam benak kita, pernyataan Ahmadinejad bahwa tragedi Holoucast merupakan kisah fiktif yang sengaja direka oleh bangsa Yahudi untuk menjustifikasi perampasan tanah Palestina. Lebih jauh lagi, Ahmadinejad mengusulkan agar Israel dihapus dari peta dunia. Tak hanya dalam ucapan, Iran pun seakan menantang dominasi Amerika - Eropa dengan mengembangkan senjata nuklir.
Permusuhan Iran dan Amerika bermula sejak meletusnya Revolusi Islam di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Sejak saat itu, putuslah hubungan diplomatik kedua negara. Revolusi yang bergolak di negeri mullah tersebut mendapat sambutan dari seantero negeri muslim. Banyak kalangan berpendapat, munculnya Republik Islam Iran merupakan awal kebangitan Islam. Maklum, banyak pelbagai organisasi pergerakan Islam yang telah mengikrarkan abad 15 H sebagai abad kebangkitan Islam. Namun benarkah demikian?
Bila kita analisis lebih lanjut, sejatinya Iran lebih tepat disebut sebagai Republik Syiah daripada Republik Islam. Islam dan Syiah sungguh dua hal bertolak belakang, meski sebagian orang berpendapat bahwa Syiah hanyalah salah satu sekte dalam Islam. Sekali - kali tidak. Bagaimana mungkin kita mendaulat Syiah sebagai bagian dari Islam sementara azan dan salat mereka berbeda, Rukun Iman mereka berbeda? Lebih dari itu, kaum Syiah berkeyakinan bahwa para Sahabat dan Istri - Istri Nabi SAW merupakan manusia terhina lantaran telah mengambil imamat dari Ali RA. Sayang, tulisan ini bukan untuk membuka segala borok agama Syiah.
Sejarah mencatat, jauh sebelum berdirinya republik Islam Iran, kaum Syiah pernah mendirikan Khilafah Fatimiyah di Mesir. Saat itu bebarengan dengan penyerbuan pasukan salib Eropa ke wilayah Islam. Namun, di tengah kekacauan perang, tak sedikit pun simpati yang diberikan oleh dinasti Fatimiyah kepada kaum muslimin. Sehingga akhirnya muncul Sultan Salahudin al Ayyubi sebagai pahlawan Islam yang memukul mundur pasukan Salib. Sebelum memerangi pasukan Salib, Salahudin terlibat pertempuran dengan pasukan dari kerajaan Fatimiyah. Sumbangsih Syiah terbesar bagi dunia Islam adalah tumbangnya Khilafah Abbasiyyah di Baghdad. Waktu itu, Pasukan Tartar di bawah komando Hulagu Khan berhasil merengsak masuk hingga istana Khalifah berkat pengkhianatan at Thusi, seorang pejabat kerajaan yang penganut Syiah. Terbaru, kita disuguhi berita penyerangan brutal milisi Syiah terhadap pesantern Darul Hadits Yaman yang menewaskan seorang WNI. Di Iran sendiri, komunitas Sunni merupakan kelompok yang senantiasa tertindas. Kehidupan mereka bahkan lebih buruk dibanding kondisi umat Islam minoritas di pelbagai negara Eropa. Tak jarang mereka menunaikan Salat Jumat di taman kota atau kantor kedutaan lantaran pemerintah Iran menutup beberapa masjid Sunni.
Dari sini jelas, Iran bukanlah sebuah negara yang memperjuangkan keadilan bagi negeri - negeri muslim.Berbagai pernyataan Ahmadinejad seakan merupakan sebuah sikap hipokrit di tengah penindasan mereka terhadap kaum Ahlus Sunnah yng merupakan minoritas di negara tersebut.
Di tengah arus demokratisasi Timur Tengah yang melibatkan peran politik dan militer Barat, Iran terkesan adhem ayem. Iran dan Amerika hanya terlibat perang kata yang sangat mungkin merupakan konspirasi tingkat tinggi untuk mengelabuhi negara - negara muslim Sunni. Iran dengan cadangan minyaknya yang begitu besar plus program pengembangan nuklir seharusnya menarik minat Amerika untuk menginvasi negaraitu. Faktanya, Amerika justru membantu Iran dengan menumbangkan rezim Saddam Husein yang selama ini merupakan ancaman Iran. Kini perlahan namun pasti, Iran telah bereinkarnasi menjadi imperium persia gaya baru. Irak telah berada dalam genggaman tangan kanannya, sementara Libanon di tangan kirinya. Libanon, sebuah negeri yang terkenal dengan paras cantik wanitanya adalah sebuah negara ringkih yang pemerintahannya gagal menancapkan kekuasaan di seluruh negeri. Milisi Hizbullah yang berhaluan syiah merupakan penguasa de facto negara itu. Belum lama ini, kaum Syiah Bahrain berupaya menyulut revolusi dengan menumbangkan rezim Sunni yang berkuasa di negeri kaya minyak tersebut. Gerakan politik Syiah ini segera mendapat respon positif dari Iran . Namun gerakan politik di Bahrain gagal mencapai tujuannya setelah beberapa negara teluk dimotori Saudi Arabia mengirimkan pasukan guna membungkam aksi makar oposisi Syiah. Saudi Arabia sebagai benteng Ahlus Sunah di dunia sadar betul, bahwa kemenangan oposisi Syiah di Bahrain merupakan kemenangan Iran sekaligus ancaman bagi stabilitas kawasan Teluk.
Yang pasti, kebangkitan Iran tidak mencemaskan Amerika sama sekali. Sebaliknya, Amerika justru diuntungkan dengan kondisi itu sehingga tetap memperoleh legitimasi untuk tetap menempatkan kekuatan militernya di berbagai negara teluk. Melihat sejarah panjang negara itu, Iran lebih berpotensi untuk memberikan ancaman kepada negara - negara Arab yang berhaluan Sunni. Perlindungan militer Amerika terhadap negara - negara teluk jelas bukan hal gratis. Ketergantungan negara adikuasa itu terhadap minyak, telah membuat Amerika terpaksa bersikap manis kepada mereka. Di satu sisi, negara Paman Sam menganggap Arab sebagai sahabat, di sisi lain ia membantai jutaan manusia tanpa dosa di Afghanistan, Irak, Palestina, Somalia, dan Libya. Sebetulnya, bila Amerika menghendaki, bisa saja meluluhlantakkan Iran sebagaimana negeri tetangganya.Akan tetapi, bila hakikatnya Amerika dan Iran sama - sama memusuhi negeri Muslim buat apa mereka saling bertikai. Dengan kondisi demikian, sampai kapan pun Amerika takkan pernah menyerang Iran.
Sumber
Permusuhan Iran dan Amerika bermula sejak meletusnya Revolusi Islam di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Sejak saat itu, putuslah hubungan diplomatik kedua negara. Revolusi yang bergolak di negeri mullah tersebut mendapat sambutan dari seantero negeri muslim. Banyak kalangan berpendapat, munculnya Republik Islam Iran merupakan awal kebangitan Islam. Maklum, banyak pelbagai organisasi pergerakan Islam yang telah mengikrarkan abad 15 H sebagai abad kebangkitan Islam. Namun benarkah demikian?
Bila kita analisis lebih lanjut, sejatinya Iran lebih tepat disebut sebagai Republik Syiah daripada Republik Islam. Islam dan Syiah sungguh dua hal bertolak belakang, meski sebagian orang berpendapat bahwa Syiah hanyalah salah satu sekte dalam Islam. Sekali - kali tidak. Bagaimana mungkin kita mendaulat Syiah sebagai bagian dari Islam sementara azan dan salat mereka berbeda, Rukun Iman mereka berbeda? Lebih dari itu, kaum Syiah berkeyakinan bahwa para Sahabat dan Istri - Istri Nabi SAW merupakan manusia terhina lantaran telah mengambil imamat dari Ali RA. Sayang, tulisan ini bukan untuk membuka segala borok agama Syiah.
Sejarah mencatat, jauh sebelum berdirinya republik Islam Iran, kaum Syiah pernah mendirikan Khilafah Fatimiyah di Mesir. Saat itu bebarengan dengan penyerbuan pasukan salib Eropa ke wilayah Islam. Namun, di tengah kekacauan perang, tak sedikit pun simpati yang diberikan oleh dinasti Fatimiyah kepada kaum muslimin. Sehingga akhirnya muncul Sultan Salahudin al Ayyubi sebagai pahlawan Islam yang memukul mundur pasukan Salib. Sebelum memerangi pasukan Salib, Salahudin terlibat pertempuran dengan pasukan dari kerajaan Fatimiyah. Sumbangsih Syiah terbesar bagi dunia Islam adalah tumbangnya Khilafah Abbasiyyah di Baghdad. Waktu itu, Pasukan Tartar di bawah komando Hulagu Khan berhasil merengsak masuk hingga istana Khalifah berkat pengkhianatan at Thusi, seorang pejabat kerajaan yang penganut Syiah. Terbaru, kita disuguhi berita penyerangan brutal milisi Syiah terhadap pesantern Darul Hadits Yaman yang menewaskan seorang WNI. Di Iran sendiri, komunitas Sunni merupakan kelompok yang senantiasa tertindas. Kehidupan mereka bahkan lebih buruk dibanding kondisi umat Islam minoritas di pelbagai negara Eropa. Tak jarang mereka menunaikan Salat Jumat di taman kota atau kantor kedutaan lantaran pemerintah Iran menutup beberapa masjid Sunni.
Dari sini jelas, Iran bukanlah sebuah negara yang memperjuangkan keadilan bagi negeri - negeri muslim.Berbagai pernyataan Ahmadinejad seakan merupakan sebuah sikap hipokrit di tengah penindasan mereka terhadap kaum Ahlus Sunnah yng merupakan minoritas di negara tersebut.
Di tengah arus demokratisasi Timur Tengah yang melibatkan peran politik dan militer Barat, Iran terkesan adhem ayem. Iran dan Amerika hanya terlibat perang kata yang sangat mungkin merupakan konspirasi tingkat tinggi untuk mengelabuhi negara - negara muslim Sunni. Iran dengan cadangan minyaknya yang begitu besar plus program pengembangan nuklir seharusnya menarik minat Amerika untuk menginvasi negaraitu. Faktanya, Amerika justru membantu Iran dengan menumbangkan rezim Saddam Husein yang selama ini merupakan ancaman Iran. Kini perlahan namun pasti, Iran telah bereinkarnasi menjadi imperium persia gaya baru. Irak telah berada dalam genggaman tangan kanannya, sementara Libanon di tangan kirinya. Libanon, sebuah negeri yang terkenal dengan paras cantik wanitanya adalah sebuah negara ringkih yang pemerintahannya gagal menancapkan kekuasaan di seluruh negeri. Milisi Hizbullah yang berhaluan syiah merupakan penguasa de facto negara itu. Belum lama ini, kaum Syiah Bahrain berupaya menyulut revolusi dengan menumbangkan rezim Sunni yang berkuasa di negeri kaya minyak tersebut. Gerakan politik Syiah ini segera mendapat respon positif dari Iran . Namun gerakan politik di Bahrain gagal mencapai tujuannya setelah beberapa negara teluk dimotori Saudi Arabia mengirimkan pasukan guna membungkam aksi makar oposisi Syiah. Saudi Arabia sebagai benteng Ahlus Sunah di dunia sadar betul, bahwa kemenangan oposisi Syiah di Bahrain merupakan kemenangan Iran sekaligus ancaman bagi stabilitas kawasan Teluk.
Yang pasti, kebangkitan Iran tidak mencemaskan Amerika sama sekali. Sebaliknya, Amerika justru diuntungkan dengan kondisi itu sehingga tetap memperoleh legitimasi untuk tetap menempatkan kekuatan militernya di berbagai negara teluk. Melihat sejarah panjang negara itu, Iran lebih berpotensi untuk memberikan ancaman kepada negara - negara Arab yang berhaluan Sunni. Perlindungan militer Amerika terhadap negara - negara teluk jelas bukan hal gratis. Ketergantungan negara adikuasa itu terhadap minyak, telah membuat Amerika terpaksa bersikap manis kepada mereka. Di satu sisi, negara Paman Sam menganggap Arab sebagai sahabat, di sisi lain ia membantai jutaan manusia tanpa dosa di Afghanistan, Irak, Palestina, Somalia, dan Libya. Sebetulnya, bila Amerika menghendaki, bisa saja meluluhlantakkan Iran sebagaimana negeri tetangganya.Akan tetapi, bila hakikatnya Amerika dan Iran sama - sama memusuhi negeri Muslim buat apa mereka saling bertikai. Dengan kondisi demikian, sampai kapan pun Amerika takkan pernah menyerang Iran.
Sumber
Qboy19 02 Jan, 2012
-
Source: http://situs-berita-terbaru.blogspot.com/2012/01/sampai-kapan-pun-amerika-takkan-serang.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih telah mampir di BLog ane
bila Berkenan, Komen yah tapi jgn spam ^^
Bila anda Mengopi artikel-artikel yang ada pada blog ini
Mohon disertekan Sumbernya agar Blog indonesia maju dan bebas dari Plagitisme ^^